BEKASI,-Kalibernews.net._//— Suasana Pengadilan Negeri (PN) Bekasi mendadak tegang. Muhammad Syamsudin, Ketua DPC KAI Kabupaten Bekasi, berdiri di depan forum resmi dan melemparkan pertanyaan yang menggema di ruang sidang:
“Ada apa dengan Pengadilan Negeri Bekasi?”
Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Hari itu, Syamsudin—yang bertindak sebagai kuasa hukum Ketua RT sekaligus pemilik tanah sah—menguliti satu per satu kejanggalan dalam rencana eksekusi lahan yang dinilainya sarat keanehan administratif dan cacat hukum serius.
Prosedur Dasar Tidak Dipenuhi: Panggilan Tak Pernah Diterima
Di awal pernyataannya, Syamsudin menegaskan hal yang sudah cukup untuk mengguncang kredibilitas proses eksekusi:
Pihak pemilik tanah tidak pernah menerima panggilan, undangan, ataupun pemberitahuan resmi dari pengadilan.
Tanpa pemanggilan sah, proses eksekusi berubah menjadi tindakan sepihak yang mengabaikan asas due process of law.
“Bagaimana sebuah lembaga peradilan menjalankan eksekusi ketika prosedur paling mendasar saja tidak dijalankan?” ujarnya tajam.
Instansi Non-Yurisdiksi Ikut Dicantumkan: “Ini Bukan Salah Ketik, Ini Keanehan Struktural”
Tak berhenti di situ, Syamsudin mengungkapkan fakta yang membuat alis para hadirin terangkat:
Undangan eksekusi mencantumkan institusi yang bahkan tidak berada di dalam wilayah hukum objek perkara.
— Polres Bekasi, tetapi bukan Bekasi Kota.
— Kapolsek Jakarta Utara–Cilincing, entah bagaimana muncul dalam dokumen PN Bekasi.
— Koramil Kalibaru Banyuwangi, yang jaraknya 800 km dari Bekasi.
“Ini bukan salah ketik. Ini keanehan struktural,” tegas Syamsudin.
Ia mempertanyakan: apakah eksekusi ini benar disiapkan secara sah, atau ada pihak yang mencoba membangun legitimasi fiktif dengan mengikutsertakan institusi yang tidak relevan?
Tanah Sah, Pajak Dibayar, Tidak Pernah Digugat
Objek tanah yang hendak dieksekusi berada dalam penguasaan sah. Pajak rutin dibayar. Asetnya tercatat dalam APBD Kota Bekasi melalui pembangunan infrastruktur.
Lebih jauh: Pemilik tanah tidak pernah terlibat sebagai tergugat dalam perkara pokok.
“Bagaimana mungkin pengadilan mengeksekusi tanah orang yang tidak pernah menjadi pihak dalam perkara?” ujar Syamsudin, menekankan absurditas hukum yang sedang berlangsung.
Derden Verzet Sudah Teregister — Tapi Eksekusi Tetap Dipaksakan
Pada 17 November 2025, pihaknya telah mengajukan bantahan eksekusi (derden verzet) yang resmi teregister di PN Bekasi dengan nomor:
581/Pdt.Bth/2025/PN Bks
Konsekuensinya jelas: eksekusi harus otomatis ditunda sampai pemeriksaan bantahan selesai.
Namun anehnya, PN Bekasi tetap merencanakan eksekusi.
“Ini bukan sekadar kelalaian. Ini potensi pelanggaran hukum acara,” kata Syamsudin.
Inkonsistensi Mencolok: Pada Perkara 148, Bantahan Diterima
Syamsudin juga mengungkit perkara 148/Pdt.Bth/2025/PN Bks, di mana bantahan pihaknya diterima dan diputus pada 28 Oktober 2025.
Pertanyaannya menggantung:
“Mengapa sekarang berbeda? Mengapa pengadilan memutus dua perkara serupa dengan standar yang tidak sama?”
Inkonsistensi itu, menurutnya, memperkuat dugaan bahwa ada yang tidak beres dalam penanganan perkara ini.
Pertanyaan yang Mengguncang
Di titik ini, suara Syamsudin meninggi. Pernyataannya menyentuh inti persoalan:
“Ada apa dengan Pengadilan Negeri Bekasi?
Mengapa kejanggalan prosedural justru terjadi di lembaga yang seharusnya menjadi benteng keadilan?”
Publik, kata Syamsudin, berhak mendapatkan jawaban.
Tidak boleh ada kabut yang menutupi proses hukum, apalagi ketika menyangkut hak milik warga negara.
Tuntutan: Tunda, Hentikan, atau Cabut Eksekusi
Melalui pernyataan resminya, Syamsudin mendesak Ketua PN Bekasi untuk:
menunda,
menghentikan, atau
mencabut seluruh rangkaian eksekusi
hingga seluruh kejanggalan diperiksa secara terang, tuntas, dan akuntabel.
Penutup: “Jangan Biarkan PN Bekasi Kehilangan Marwahnya”
Di akhir konferensi persnya, Syamsudin mengingatkan:
“Pengadilan bukan alat intimidasi.
Pengadilan adalah penjaga keadilan.
Dan hari ini, kami meminta Pengadilan Negeri Bekasi membuktikan bahwa marwah itu masih ada.”(Red)